JAKARTA – Para pemohon penguji UU
Sisdiknas (RSBI) telah menyampaikan Kesimpulan Perkara Nomor
5/PUU-X/2012 pada Selasa, 29 Mei 2012 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah melalui 8 kali persidangan,
para pemohon yang diwakili tim advokasi anti komersialisasi pendidikan
menyimpulkan, keberadaan RSBI/SBI yang didasarkan adanya Pasal 50 ayat
(3) UU No. 20 tahun 2003 tentang UU Sisdiknas merupakan bentuk kesalahan
dan kekeliruan Pemerintah dalam menjabarkan makna amanat Pembukaan UUD
1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Secara norma dan implementasi, tim
anti komersialisasi pendidikan menilai, bahwa RSBI/SBI bermasalah dan
harus dihapuskan karena telah mengakibatkan kerugian konstitusional bagi
Para Pemohon dan banyak warga negara Indonesia.
“Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas
berbunyi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan
untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf
internasional,” katanya dalam siaran pers yang diterima kedaiberita.com,
Rabu (30/05/12).
Sebagai
pemohon pihak tim anti komersialisasi pendidikan menyatakan, keberadaan
RSBI/SBI yang mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon
peserta didik, adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan
perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan
status ekonomi. Sehingga keberadaan RSBI/SBI merupakan bentuk kebijakan
diskriminatif dari Negara yang dilegalkan melalui Undang-undang.
“Hal tersebut bertentangan dengan UUD
1945, UU HAM bahkan UU Sisdiknas sendiri. Selain itu juga bertentangan
dengan Kovenan Internasional Hak Sipol, Kovenan Internasional Hak Ekosob
serta Konvensi UNESCO menentang Diskriminasi dalam Pendidikan (1960),”
jelas tim advokasi anti komersialisasi pendidikan.
Menurir
tim advokasi, kebijakan diskriminatif tersebut selanjutnya dilakukan
dengan menggelontorkan dana dalam jumlah yang signifikan kepada
sekolah-sekolah yang sesungguhnya sudah bagus ketimbang mengalokasikan
dana secara khusus ke sekolah-sekolah terbelakang.
“Ini berarti semakin tinggi standar
kualitas suatu sekolah semakin besar pula peluang sekolah itu
mendapatkan privelege dana khusus dari pemerintah maupun dari
masyarakat, serta semakin tinggi pula kesempatannya untuk menjadi
sekolah yang lebih bermutu lagi,”
Sebaliknya bagi sekolah-sekolah non
RSBI/SBI justru semakin tertinggal, karena tidak mendapat dukungan dana
yang signifikan dari pemerintah dan ada larangan melakukan pungutan.
“Bukankah sekolah-sekolah terbelakang
seharusnya mendapatkan dana khusus dalam jumlah besar agar dapat
mengejar ketertinggalan? Ini artinya pendidikan bermutu disadari atau
tidak hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara
tertentu,” terangnya.
Tim
advokasi komersialisasi pendidikan meningatkan, bahwa pendidikan sudah
ditetapkan oleh konstitusi dan konsensus nasional sebagai salah satu
jalur pemerataan, peningkatan akal budi warga negara Indonesia
menerapkan asas egaliter dalam pelaksanaan pendidikan.
“Sedangkan melalui aneka keistimewaan
yang ditopang oleh aneka jenis pendanaan yang sudah mulai dipertanyakan
efektivitas dan penggunaannya, RSBI/SBI dengan sengaja menimbulkan
kekastaan di kalangan warga yang justru mau dihapus oleh revolusi
kemerdekaan nasional,” tuturnya.
Tim
advokasi komersialisasi pendidikan mengatakan, penyelenggaraan RSBI/SBI
didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme, yang
berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan
eksistensi peserta didik seoptimal mungkin. Sementara filosofi
esensialisme menekankan pada pendidikan yang berfungsi dan relevan
dengan kebutuhan, baik individu, keluarga, masyarakat, baik lokal,
nasional, dan internasional.
Padahal menurut tim advokasi
komersialisasi pendidikan, falsafah sistem pendidikan nasional Indonesia
adalah Pancasila, dan pendidikan nasional ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab harus selalu berdasarkan pada pandangan hidup bangsa
Indonesia.
“Oleh
karenanya, kami berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat obyektif melihat
persoalan RSBI/SBI sehingga dengan alasan yang tak terbantahkan lagi
dapat segera membatalkan Pasal 50 ayat (3) U Sisdiknas, karena
nyata-nyata telah bertentangan dengan Pembukaan, Pasal 28C ayat (1);
Pasal 28E ayat (1); Pasal 28I ayat (2); Pasal 31 ayat (1); Pasal 31 ayat
(2); Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 36 UUD 1945,” pungkasnya.
karena RSBI & SBI, guru-guru saat ini menjadi musuh para murid dan ortu murid. Guru-guru sekarang sudah tidak ingat dosa, tidak ingat mati, selalu menipud dan menipu berkedok RSBI dan SBI.
BalasHapusSaya mohon segeralah pecat kepala sekolah jajarannya setiap sekolah berlebel RSBI & SBI. Masih banyak yang mau jadi guru yang jujur.
kalau suatu sekolah mau hancur prestasinya ya jadikan saja RSBI atau SBI. Sebab kalau mau masuk ke sekolah RSBI atau SBI orientasinya dengan syarat nilai NEM , nilai test masuk atau nilai lainnya tapi dengan Uang-lah jelas anak anda bisa diterima. Musuh nyata Negara dan Bangsa Indonesia saat ini adalah Kepala Sekolah dan Para Guru/staf pengajar di sekolah-sekolah RSBI atau SBI.
BalasHapus